duit kagem jajan

duit kagem jajan
uang bukan segalanya, tapi segalanya dibeli dengan uang

Selasa, 05 Juli 2011

15. Senering Tahun 1959 dan 1965



Senering Tahun 1959

Dekrit Presiden 5 Juli 1959 telah membawa perubahan mendasar pada bidang politik dan ekonomi Indonesia, termasuk pada pelaksanaan tugas dan kebijakan Bank Indonesia (BI). Kondisi perekonomian pada tahun 1959 diwarnai dengan tingginya laju inflasi, yang dipengaruhi oleh pesatnya pertambahan jumlah uang beredar sebagai akibat ekspansi dari sektor pemerintah. Untuk mengatasinya, pemerintah mengeluarkan beberapa kebijakan pengetatan moneter berupa:

1. Kebijakan pengawasan kredit secara kuantitatif dan kualitatif
2. Kebijakan devaluasi rupiah
3. Kebijakan sanering
4. Kebijakan devisa untuk lalu lintas pembayaran luar negeri.


Kebijakan Sanering
Sanering berasal dari bahasa Belanda yang berarti penyehatan, pembersihan, reorganisasi. Kebijakan sanering, yang mulai berlaku pada 25 Agustus 1959, adalah sebagai berikut:

1. Penurunan nilai uang kertas Rp 500 dan Rp 1.000 menjadi Rp 50 dan Rp 100 (Perpu No.2 Tahun 1959, 24 Agustus 1959) atau seninai 10 %. Penukaran uang kertas ini harus dilakukan sebelum 1 Januari 1960 (Perpu No. 6 Tahun 1959, 25 Agustus 1959). Sedangkan untuk nilai uang yang hilang akibat pemberlakuan Perpu No. 2 di atas, tidak akan diperhatikan pada perhitungan laba maupun pajak (Perpu No. 5 Tahun 1959, 25 Agustus 1959).

2. Pembekuan sebagian simpanan pada bank-bank (giro dan deposito) sebesar 90% dari jumlah simpanan diatas Rp 25.000, dengan ketentuan bahwa simpanan yang dibekukan akan diganti menjadi simpanan jangka panjang oleh Pemerintah (Perpu No.3 Tahun 1959 tanggal 24 Agustus 1959).

Tindakan sanering ini telah membawa beberapa pengaruh di bidang moneter. Mulai dari berkurangnya uang beredar, meningkatnya keuntungan pemerintah sebesar Rp 8.521 juta (dari penurunan nilai uang kertas bank Rp 1.000 dan Rp 500, menurut tindakan moneter tertanggal 25 Agusutus 1959 (Perpu No. 2 Tahun 1959), yang digunakan untuk mengurangi ketekoran kas pemerintah, sampai menurunkan
tingkat likuiditas bank-bank. Akibatnya bank tidak bisa memberikan kredit kepada
perusahaan untuk kegiatan ekspor, impor, produksi, dan distribusi, sehingga berakibat pada kenaikan harga barang dan biaya hidup tahun 1959. Tindakan yang
dianggap gagal ini, ternyata dilakukan pemerintah tanpa berkoordinasi dengan BI,
sehingga Gubernur BI pada waktu itu, Mr. Loekman Hakim, mengajukan pengunduran diri pada presiden.
uang macan dan gajah nominal 500 dan 1.000 rupiah yang menjadi 50 dan 100 saja


Obligasi/ simpanan jangka panjang

Senering tahun 1965
Mulai tahun 1960, kebutuhan anggaran pemerintah untuk proyek-proyek politik
semakin meningkat akibat isu konfrontasi yang terus dilakukan dengan Belanda dan Malaysia. Hal ini juga disebabkan oleh besarnya pengeluran pemerintah untuk
membiayai proyek-proyek mercusuar, seperti Games of the New Emerging Forces
(Ganefo) dan Conference of the Emerging Forces (Conefo). Dalam rangka mempersiapkan kesatuan moneter di seluruh wilayah Indonesia, pada tanggal 13
Desember 1965, pemerintah menerbitkan sebuah alat pembayaran yang sah yang
berlaku bagi seluruh wilayah Indonesia melalui Penetapan Presiden (Penpres) No.
27/1965. Ketentuan tersebut mencakup nilai perbandingan antara uang rupiah baru
dengan uang rupiah lama dan uang rupiah khusus untuk Irian Barat -Rp 1 (baru) =
Rp 1.000 (lama) dan Rp 1 (baru) = IB Rp 1-, serta pencabutan uang kertas Bank
Negara Indonesia, uang kertas dan uang logam pemerintah yang telah beredar sebelum diberlakukannya Penpres tersebut. Sejak saat itu sampai bulan Agustus
1966, uang rupiah baru dan uang rupiah lama beredar bersama-sama. Untuk menghilangkan dualisme tersebut, semua instansi swasta diwajibkan untuk menggunakan nilai uang rupiah baru dalam perhitungan harga barang dan jasa serta keperluan administrasi keuangan. Meskipun uang rupiah baru bernilai 1.000 kali uang rupiah lama, tidak berarti bahwa harga-harga menjadi seperseribu harga
lamanya. Kebijakan ini justru meningkatkan beban pemerintah, jumlah uang
beredar, dan inflasi.

Bayangkan bila dalam suatu negara terdapat beberapa jenis mata uang yang berlaku dengan nilai tukar yang berbeda-beda. Hal itu, tentu saja, akan menyebabkan situasi moneter negara tersebut kacau balau. Keadaan tersebut pernah dialami Indonesia pada kurun waktu 1960-an. Dalam rangka menciptakan kesatuan moneter, pemerintah, melalui Penetapan Presiden (Penpres) No. 27 tahun 1965, menerbitkan uang rupiah baru untuk menggantikan uang rupiah lama dan uang rupiah khusus Daerah Provinsi Irian Barat (IB Rp). Bagaimana implikasi pemberlakuan Penpres ini terhadap situasi moneter Indonesia?

Pada tahun 1965, salah satu kebijakan moneter yang diambil pemerintah untuk menghambat laju inflasi pada saat itu adalah pemberlakuan mata uang rupiah baru
bagi seluru wilayah Republik Indonesia (RI) melalui Penetapan Presiden (Penpres)
No. 27 Tahun 1965 tanggal 13 Desember 1965 yang menetapkan penggantian uang
lama dengan uang baru dengan perbandingan nilai Rp 1.000 (lama) menjadi Rp 1.000 (baru). Tujuan lain dari Penpres tersebut adalah untuk mempersiapkan kesatuan moneter bagi seluruh wilayah RI, termasuk Daerah Provinsi Irian Barat.


Magelang, Oktober 2016
Disarikan dari :
www.bi.go.id
museum Artha Suaka

2 komentar:

  1. Keren banget gan infonya, makasih sudah berbagi
    Asuransi Kesehatan

    BalasHapus
  2. assalamualaikum mas..saya punya uang seratus perahu layar gmn tu tlng dikonfirmasi ya mksh

    BalasHapus