1. MASA VOC
Sebelum kedatangan bangsa barat, nusantara telah
berkembang menjadi wilayah perdagangan internasional. Pada saat itu terdapat
dua jalur perniagaan internasional yang digunakan oleh para pedagang, jalur
darat dan jalur laut. Pada masa itu telah terdapat dua kerajaan utama di
nusantara yang mempunyai andil besar dalam meramaikan perniagaan internasional,
yaitu Sriwijaya dan Majapahit. Dalam maraknya perniagaan tersebut belum ada
mata uang baku yang dijadikan nilai standar. Meskipun masyarakat telah mengenal
mata uang dalam bentuk sederhana.
Sementara itu pada abad ke-15 bangsa-bangsa Eropa
sedang berupaya memperluas wilayah penjelajahannya di berbagai belahan dunia,
termasuk Asia dan Nusantara. sejak jatuhnya Konstantinopel ke tangan kekuasaan
Turki Usmani (1453), penjelajahan tersebut dipelopori oleh Spanyol dan Portugis
yang kemudian diikuti oleh Belanda, Inggris, dan Perancis. Kegiatan
penjelajahan tersebut telah mendorong munculnya paham merkantilisme di Eropa
pada abad ke 16–17.
Selanjutnya pada akhir abad ke-18 revolusi
industri telah berlangsung di Eropa. Kegiatan industri berkembang dan hasil
produksi meningkat sehingga mendorong kegiatan ekspor ke wilayah Asia dan
Amerika. Pesatnya perdagangan di Eropa memicu tumbuhnya lembaga pemberi jasa keuangan
yang merupakan cikal-bakal lembaga perbankan modern, antara lain seperti Bank
van Leening di Belanda. Kemudian secara bertahap bank-bank tertentu di wilayah
Eropa seperti Bank of England (1773), Riskbank (1809), Bank of France (1800)
berkembang menjadi bank sentral.
Munculnya Malaka sebagai emporium perdagangan
telah menarik perhatian bangsa Portugis yang akhirnya pada 1511 berhasil
menguasai Malaka. Mereka terus bergerak ke arah timur menuju sumber
rempah-rempah di Maluku. Di sana Portugis menghadapi bangsa Spanyol yang datang
melalui Filipina. Beberapa saat kemudian bangsa Belanda juga berusaha menguasai
sumber-sumber komoditi perdagangan di Jawa dan Nusantara. Dengan mengibarkan
bendera VOC yaitu perusahaan induk penghimpun perusahaan-perusahaan dagang
Belanda, mereka mengukuhkan kekuasaanya di Batavia pada 1619. Untuk
memperlancar dan mempermudah aktivitas perdagangan VOC di Nusantara, pada 1746
didirikan De Bank van Leening dan kemudian berubah menjadi De Bank Courant en
Bank van Leening pada 1752. Bank van Leening merupakan bank pertama yang
beroperasi di Nusantara. Pada akhir abad ke-18, VOC telah mengalami kemunduran,
bahkan kebangkrutan. Maka kekuasaan VOC di nusantara diambil alih oleh
pemerintah Kerajaan Belanda. Setelah masa pemerintahan Herman William Daendels
dan Janssen, Hindia Timur akhirnya jatuh ke tangan Inggris.
Ratu Inggris mengutus Sir Thomas Stamford Raffles
untuk memerintah Hindia Timur. Tetapi pemerintahan Raffles tidak bertahan lama,
karena setelah usainya perang melawan Perancis (Napoleon) di Eropa, Inggris dan
Belanda membuat kesepakatan bahwa semua wilayah Hindia Timur diserahkan kembali
kepada Belanda. Sejak saat itu Hindia Timur disebut sebagai Hindia Belanda
(Nederland Indie) dan diperintah oleh Komisaris Jenderal (1815–1819) yang
terdiri dari Elout, Buyskes, dan van der Capellen. Pada periode inilah berbagai
perbaikan ekonomi mulai dilaksanakan di Hindia Belanda. Hingga nantinya Du Bus
menyiapkan beberapa kebijakan yang mempersiapkan didirikannya De Javasche Bank
pada 1828.
2. MASA HINDIA BELANDA
Gagasan pembentukan bank sirkulasi untuk Hindia
Belanda dicetuskan menjelang keberangkatan Komisaris Jenderal Hindia Belanda
Mr. C.T. Elout ke Hindia Belanda. Kondisi keuangan di Hindia Belanda dianggap
telah memerlukan penertiban dan pengaturan sistem pembayaran dalam bentuk
lembaga bank. Pada saat yang sama kalangan pengusaha di Batavia, Hindia
Belanda, telah mendesak didirikannya lembaga bank guna memenuhi kepentingan
bisnis mereka. Meskipun demikian gagasan tersebut baru mulai diwujudkan ketika
Raja Willem I menerbitkan Surat Kuasa kepada Komisaris Jenderal Hindia Belanda
pada 9 Desember 1826. Surat tersebut memberikan wewenang kepada pemerintah
Hindia Belanda untuk membentuk suatu bank berdasarkan wewenang khusus berjangka
waktu, atau lazim disebut oktroi.
Dengan surat kuasa tersebut, pemerintah Hindia
Belanda mulai mempersiapkan berdirinya DJB. Pada 11 Desember 1827, Komisaris
Jenderal Hindia Belanda Leonard Pierre Joseph Burggraaf Du Bus de Gisignies
mengeluarkan Surat Keputusan No. 28 tentang oktroi dan ketentuan-ketentuan
mengenai DJB. Kemudian pada 24 Januari 1828 dengan Surat Keputusan Komisaris
Jenderal Hindia Belanda No. 25 ditetapkan akte pendirian De Javasche Bank
(DJB). Pada saat yang sama juga diangkat Mr. C. de Haan sebagai Presiden DJB
dan C.J. Smulders sebagai sekretaris DJB.
Oktroi merupakan ketentuan dan pedoman bagi DJB
dalam menjalankan usahanya. Oktroi DJB pertama berlaku selama 10 tahun sejak 1
Januari 1828 sampai 31 Desember 1837 dan diperpanjang sampai dengan 31 Maret
1838. Pada periode oktroi keenam, DJB melakukan pembaharuan akte pendiriannya
di hadapan notaris Derk Bodde di Jakarta pada 22 Maret 1881. Sesuai dengan akte
baru DJB, status bank diubah menjadi Naamlooze Vennootschap (N.V.). Dengan
perubahan akte tersebut, DJB dianggap sebagai perusahaan baru. Oktroi kedelapan
adalah oktroi DJB terakhir hingga berlakunya DJB Wet pada 1922. Pada periode
oktroi terakhir ini, DJB banyak mengeluarkan ketentuan baru dalam bidang sistem
pembayaran yang mengarah kepada perbaikan bagi lalu lintas pembayaran di Hindia
Belanda. Oktroi kedelapan berakhir hingga 31 Maret 1921 dan hanya diperpanjang
selama satu tahun sampai dengan 31 Maret 1922.
Pada 31 Maret 1922 diundangkan De Javasche
Bankwet 1922 (DJB Wet). Bankwet 1922 ini kemudian diubah dan ditambah dengan UU
tanggal 30 April 1927 serta UU 13 November 1930. Pada dasarnya De Javasche
Bankwet 1922 adalah perpanjangan dari oktroi kedelapan DJB yang berlaku
sebelumnya. Masa berlaku Bankwet 1922 adalah 15 tahun ditambah dengan
perpanjangan otomatis satu tahun, selama tidak ada pembatalan oleh gubernur
jenderal atau pihak direksi. Pimpinan DJB pada periode DJB Wet adalah direksi
yang terdiri dari seorang presiden dan sekurang-kurangnya dua direktur, satu di
antaranya adalah sekretaris. Selain itu terdapat jabatan presiden pengganti I,
presiden pengganti II, direktur pengganti I, dan direktur pengganti II.
Penetapan jumlah direktur ditentukan oleh rapat bersama antara direksi dan
dewan komisaris. Pada periode ini DJB terdiri atas tujuh bagian, di antaranya
bagian ekonomi statistik, sekretaris, bagian wesel, bagian produksi, dan bagian
efek-efek.
Pada periode ini DJB berkembang pesat dengan 16
kantor cabang, antara lain: Bandung, Cirebon, Semarang, Yogyakarta, Surakarta,
Surabaya, Malang, Kediri, Kutaraja, Medan, Padang, Palembang, Banjarmasin,
Pontianak, Makassar, dan Manado, serta kantor perwakilan di Amsterdam, dan New
York. DJB Wet ini terus berlaku sebagai landasan operasional DJB hingga
lahirnya Undang-undang Pokok Bank Indonesia 1 Juli 1953.
3. MASA JEPANG
Pecahnya Perang Dunia II di Eropa
terus menjalar hingga ke wilayah Asia Pasifik. Militer Jepang segera melebarkan
wilayah invasinya dari daratan Asia menuju Asia Tenggara. Menjelang kedatangan
Jepang di Pulau Jawa, Presiden DJB, Dr. G.G. van Buttingha Wichers, berhasil
memindahkan semua cadangan emasnya ke Australia dan Afrika Selatan. Pemindahan
tersebut dilakukan lewat pelabuhan Cilacap. Setelah menduduki Pulau Jawa pada
bulan Februari-Maret 1942, tentara Jepang memaksa penyerahan seluruh aset bank
kepada mereka. Selanjutnya, pada bulan April 1942, diumumkan suatu
banking-moratorium tentang adanya penangguhan pembayaran kewajiban-kewajiban
bank. Beberapa bulan kemudian, pimpinan tentara Jepang untuk Pulau Jawa, yang
berada di Jakarta, mengeluarkan ordonansi berupa perintah likuidasi untuk
seluruh bank Belanda, Inggris, dan beberapa bank Cina. Ordonansi serupa juga
dikeluarkan oleh komando militer Jepang di Singapura untuk bank-bank di
Sumatera, sedangkan kewenangan likuidasi bank-bank di Kalimantan dan Great East
diberikan kepada Navy Ministry di Tokyo.
Fungsi dan tugas bank-bank yang dilikuidasi
tersebut, kemudian diambil alih oleh bank-bank Jepang, seperti Yokohama Specie
Bank, Taiwan Bank, dan Mitsui Bank, yang pernah ada sebelumnya dan ditutup oleh
Belanda ketika mulai pecah perang. Sebagai bank sirkulasi di Pulau Jawa,
dibentuklah Nanpo Kaihatsu Ginko yang melanjutkan tugas tentara pendudukan
Jepang dalam mengedarkan invansion money yang dicetak di Jepang dalam tujuh
denominasi, mulai dari satu hingga sepuluh gulden. Sampai pertengahan bulan
Agustus 1945, telah diedarkan invansion money senilai 2,4 milyar gulden di
Pulau Jawa, 1,4 milyar gulden di Sumatera, serta dalam nilai yang lebih kecil
di Kalimantan dan Sulawesi. Sejak tanggal 15 Agustus 1945, juga masuk dalam
peredaran senilai 2 milyar gulden, yang sebagian berasal dari uang yang ditarik
dari bank-bank Jepang di Sumatera serta sebagian lagi dicuri dari De Javasche
Bank Surabaya dan beberapa tempat lainnya. Hingga bulan Maret 1946, jumlah uang
yang beredar di wilayah Hindia Belanda berjumlah sekitar delapan milyar gulden.
Hal tersebut menimbulkan hancurnya nilai mata uang dan memperberat beban
ekonomi wilayah Hindia Belanda.
4. MASA AGRESI BELANDA
Setelah Jepang menyerah pada 15
Agustus 1945, Indonesia segera memproklamasikan kemerdekaannya pada 17 Agustus
1945. Keesokan harinya, pada 18 Agustus 1945 telah disusun Undang-Undang Dasar
1945. Dalam penjelasan UUD 1945 Bab VIII pasal 23 Hal Keuangan yang menyatakan
cita-cita membentuk bank sentral dengan nama Bank Indonesia untuk memperkuat
adanya kesatuan wilayah dan kesatuan ekonomi-moneter. Sementara itu dengan
membonceng tentara Sekutu, Belanda kembali mencoba menduduki wilayah yang
pernah dijajahnya. Maka dalam wilayah Indonesia terdapat dua pemerintahan
yaitu: pemerintahan Republik Indonesia dan pemerintahan Belanda atau
Nederlandsche Indische Civil Administrative (NICA). Selanjutnya NICA membuka
akses kantor-kantor pusat Bank Jepang di Jakarta dan menugaskan DJB menjadi
bank sirkulasi mengambil alih peran Nanpo Kaihatsu Ginko. Tidak lama kemudian
DJB berhasil membuka sembilan cabangnya di wilayah-wilayah yang dikuasai oleh
NICA. Pembukaan cabang-cabang DJB terus berlanjut seiring dengan dua agresi
militer yang dilancarkan Belanda kepada Indonesia. Sementara itu di wilayah
yang dikuasai oleh Republik Indonesia, dibentuk Jajasan Poesat Bank Indonesia
(Yayasan Bank Indonesia) yang kemudian melebur dalam Bank Negara Indonesia
sebagai bank sirkulasi berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
No.2/1946. Namun demikian situasi perang kemerdekaan dan terbatasnya pengakuan
dunia sangat menghambat peran BNI sebagai bank sirkulasi. Namun demikian pada
30 Oktober 1946, pemerintah dapat menerbitkan Oeang Repoeblik Indonesia (ORI)
sebagai uang pertama Republik Indonesia. Periode ini ditutup dengan Konferensi
Meja Bundar (KMB) 1949 yang memutuskan DJB sebagai bank sirkulasi untuk
Republik Indonesia Serikat (RIS) dan Bank Negara Indonesia sebagai bank
pembangunan.
5. MASA RIS
Pada Desember 1949, Belanda mengakui kedaulatan
Republik Indonesia sebagai bagian dari Republik Indonesia Serikat (RIS). Pada
saat itu, sesuai dengan keputusan Konferensi Meja Bundar (KMB), fungsi bank
sentral tetap dipercayakan kepada De Javasche Bank (DJB). Pemerintahan RIS
tidak berlangsung lama, karena pada tanggal 17 Agustus 1950, pemerintah RIS
dibubarkan dan Indonesia kembali ke bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia
(NKRI). Pada saat itu, kedudukan DJB tetap sebagai bank sirkulasi. Berakhirnya
kesepakatan KMB ternyata telah mengobarkan semangat kebangsaan yang terwujud
melalui gerakan nasionalisasi perekonomian Indonesia. Nasionalisasi pertama
dilaksanakan terhadap DJB sebagai bank sirkulasi yang mempunyai peranan penting
dalam menggerakkan roda perekonomian Indonesia. Sejak berlakunya Undang-undang
Pokok Bank Indonesia pada tanggal 1 Juli 1953, bangsa Indonesia telah memiliki
sebuah lembaga bank sentral dengan nama Bank Indonesia.
Sebelum berdirinya Bank Indonesia, kebijakan
moneter, perbankan, dan sistem pembayaran berada di tangan pemerintah. Dengan
menanggung beban berat perekonomian negara pasca perang, kebijakan moneter
Indonesia ditekankan pada peningkatan posisi cadangan devisa dan menahan laju
inflasi. Sementara itu, pada periode ini, pemerintah terus berusaha memperkuat
sistem perbankan Indonesia melalui pendirian bank-bank baru. Sebagai bank
sirkulasi, DJB turut berperan aktif dalam mengembangkan sistem perbankan
nasional terutama dalam penyediaan dana kegiatan perbankan. Banyaknya jenis
mata uang yang beredar memaksa pemerintah melakukan penyeragaman mata uang.
Maka, meski hanya untuk waktu yang singkat, pemerintah mengeluarkan uang kertas
RIS yang menggantikan Oeang Republik Indonesia dan berbagai jenis uang lainnya.
Akhirnya, setelah sekian lama berlaku sebagai acuan hukum pengedaran uang di
Indonesia, Indische Muntwet 1912 diganti dengan aturan baru yang dikenal dengan
Undang-undang Mata Uang 1951.
Disalin dari : www.bi,go.id
Magelang, Mei 2016
Magelang, Mei 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar