Senering Tahun 1959
Dekrit
Presiden 5 Juli 1959 telah membawa perubahan mendasar pada bidang politik dan
ekonomi Indonesia, termasuk pada pelaksanaan tugas dan kebijakan Bank Indonesia
(BI). Kondisi perekonomian pada tahun 1959 diwarnai dengan tingginya laju
inflasi, yang dipengaruhi oleh pesatnya pertambahan jumlah uang beredar sebagai
akibat ekspansi dari sektor pemerintah. Untuk mengatasinya, pemerintah
mengeluarkan beberapa kebijakan pengetatan moneter berupa:
1.
Kebijakan pengawasan kredit secara kuantitatif dan kualitatif
2.
Kebijakan devaluasi rupiah
3.
Kebijakan sanering
4.
Kebijakan devisa untuk lalu lintas pembayaran luar negeri.
Kebijakan
Sanering
Sanering
berasal dari bahasa Belanda yang berarti penyehatan, pembersihan, reorganisasi.
Kebijakan sanering, yang mulai berlaku pada 25 Agustus 1959, adalah sebagai
berikut:
1. Penurunan nilai uang kertas Rp 500 dan
Rp 1.000 menjadi Rp 50 dan Rp 100 (Perpu No.2 Tahun 1959, 24 Agustus 1959) atau
seninai 10 %. Penukaran uang kertas ini harus dilakukan sebelum 1 Januari 1960
(Perpu No. 6 Tahun 1959, 25 Agustus 1959). Sedangkan untuk nilai uang yang
hilang akibat pemberlakuan Perpu No. 2 di atas, tidak akan diperhatikan pada
perhitungan laba maupun pajak (Perpu No. 5 Tahun 1959, 25 Agustus 1959).
2. Pembekuan sebagian simpanan pada
bank-bank (giro dan deposito) sebesar 90% dari jumlah simpanan diatas Rp
25.000, dengan ketentuan bahwa simpanan yang dibekukan akan diganti menjadi
simpanan jangka panjang oleh Pemerintah (Perpu No.3 Tahun 1959 tanggal 24
Agustus 1959).
Tindakan
sanering ini telah membawa beberapa pengaruh di bidang moneter. Mulai dari
berkurangnya uang beredar, meningkatnya keuntungan pemerintah sebesar Rp 8.521
juta (dari penurunan nilai uang kertas bank Rp 1.000 dan Rp 500, menurut tindakan
moneter tertanggal 25 Agusutus 1959 (Perpu No. 2 Tahun 1959), yang digunakan
untuk mengurangi ketekoran kas pemerintah, sampai menurunkan
tingkat
likuiditas bank-bank. Akibatnya bank tidak bisa memberikan kredit kepada
perusahaan
untuk kegiatan ekspor, impor, produksi, dan distribusi, sehingga berakibat pada
kenaikan harga barang dan biaya hidup tahun 1959. Tindakan yang
dianggap
gagal ini, ternyata dilakukan pemerintah tanpa berkoordinasi dengan BI,
sehingga
Gubernur BI pada waktu itu, Mr. Loekman Hakim, mengajukan pengunduran diri pada
presiden.
uang macan dan gajah nominal 500 dan 1.000 rupiah yang menjadi 50 dan 100 saja
Obligasi/ simpanan jangka panjang
Obligasi/ simpanan jangka panjang
Senering
tahun 1965
Mulai
tahun 1960, kebutuhan anggaran pemerintah untuk proyek-proyek politik
semakin
meningkat akibat isu konfrontasi yang terus dilakukan dengan Belanda dan Malaysia.
Hal ini juga disebabkan oleh besarnya pengeluran pemerintah untuk
membiayai
proyek-proyek mercusuar, seperti Games of the New Emerging Forces
(Ganefo)
dan Conference of the Emerging Forces (Conefo). Dalam rangka mempersiapkan
kesatuan moneter di seluruh wilayah Indonesia, pada tanggal 13
Desember
1965, pemerintah menerbitkan sebuah alat pembayaran yang sah yang
berlaku
bagi seluruh wilayah Indonesia melalui Penetapan Presiden (Penpres) No.
27/1965.
Ketentuan tersebut mencakup nilai perbandingan antara uang rupiah baru
dengan
uang rupiah lama dan uang rupiah khusus untuk Irian Barat -Rp 1 (baru) =
Rp 1.000
(lama) dan Rp 1 (baru) = IB Rp 1-, serta pencabutan uang kertas Bank
Negara
Indonesia, uang kertas dan uang logam pemerintah yang telah beredar sebelum
diberlakukannya Penpres tersebut. Sejak saat itu sampai bulan Agustus
1966, uang
rupiah baru dan uang rupiah lama beredar bersama-sama. Untuk menghilangkan
dualisme tersebut, semua instansi swasta diwajibkan untuk menggunakan nilai
uang rupiah baru dalam perhitungan harga barang dan jasa serta keperluan
administrasi keuangan. Meskipun uang rupiah baru bernilai 1.000 kali uang
rupiah lama, tidak berarti bahwa harga-harga menjadi seperseribu harga
lamanya.
Kebijakan ini justru meningkatkan beban pemerintah, jumlah uang
beredar,
dan inflasi.
Bayangkan bila
dalam suatu negara terdapat beberapa jenis mata uang yang berlaku dengan nilai
tukar yang berbeda-beda. Hal itu, tentu saja, akan menyebabkan situasi moneter
negara tersebut kacau balau. Keadaan tersebut pernah dialami Indonesia pada
kurun waktu 1960-an. Dalam rangka menciptakan kesatuan moneter, pemerintah,
melalui Penetapan Presiden (Penpres) No. 27 tahun 1965, menerbitkan uang rupiah
baru untuk menggantikan uang rupiah lama dan uang rupiah khusus Daerah Provinsi
Irian Barat (IB Rp). Bagaimana implikasi pemberlakuan Penpres ini terhadap
situasi moneter Indonesia?
Pada tahun
1965, salah satu kebijakan moneter yang diambil pemerintah untuk menghambat
laju inflasi pada saat itu adalah pemberlakuan mata uang rupiah baru
bagi
seluru wilayah Republik Indonesia (RI) melalui Penetapan Presiden (Penpres)
No. 27
Tahun 1965 tanggal 13 Desember 1965 yang menetapkan penggantian uang
lama
dengan uang baru dengan perbandingan nilai Rp 1.000 (lama) menjadi Rp 1.000
(baru). Tujuan lain dari Penpres tersebut adalah untuk mempersiapkan kesatuan
moneter bagi seluruh wilayah RI, termasuk Daerah Provinsi Irian Barat.
Magelang, Oktober 2016
Disarikan dari :
www.bi.go.id
museum Artha Suaka